Friday, May 12, 2017

Tribun Jogja | Pembajakan Buku | Agustus, 2016 | Dwi Nourma Handito


Dari penelusuran saya di lapangan, novel Dee jadi salah satu "favorit" yang dibajak. Supernova misalnya. Di Jogja bisa dengan mudah untuk dapat buku bajakan Supernova. Bagaimana tanggapan dan sikap Dee terkait hal ini (pembajakan buku)?
 
Dalam lima belas tahun saya berkarier, buku saya memang sudah dibajak entah sudah berapa kali. Saya tahu saya dirugikan. Namun, untuk menyelidikinya juga butuh tenaga dan fokus, yang mana saya belum bisa meluangkan ke arah sana berhubung pekerjaan saya juga berjalan terus. Yang bisa saya lakukan adalah mendorong dan mengedukasi para pembaca saya untuk tidak membeli buku bajakan dan menghargai kerja keras penulis. Karena tidak jarang juga para pembaca tersebut bahkan tidak sadar bahwa buku yang mereka beli adalah bajakan. Apalagi sekarang ini buku bajakan sudah dipasarkan dengan bahasa marketing yang lebih kreatif seperti “buku KW super”, “isi sama dengan ori”, dsb. 

Terkait dengan buku bajakan karya Dee, apakah pernah secara langsung "memergoki" buku-buku bajakan itu, atau pernah menemukan kejadian misalnya saat ketemu fans dan minta tanda tangan justru buku yang dibawa adalah bajakan? Atau pernah melakukan investigasi sendiri?

Belum pernah memergoki dijual, tapi setiap booksigning ada saja satu-dua orang yang bawa buku bajakan, dan mereka bahkan tidak sadar bahwa buku tsb bajakan. Biasanya, sebelum acara saya mengumumkan bahwa saya hanya akan menandatangani buku asli. Yang bawa buku bajakan, terpaksa saya tolak. Jadi, ada pembelajaran juga. 

Penulis menjadi salah satu yang dirugikan dalam hal ini, bersama penerbit tentunya. Apakah pernah melakukan langkah-langkah lanjutan terkait kejahatan ini? Melaporkan ke pihak berwajib, misalnya? Atau ada rencana untuk itu? Jika tidak, kenapa alasannya?

Setahu saya memang pembajakan berbasis delik aduan, jadi harus ada pihak pelapor dengan membawa bukti-bukti, dsb. Penerbit saya sudah pernah melakukannya, tapi mereka bilang prosesnya rumit. Saya rasa para penerbit lain juga sudah ada yang melakukan, tapi saya belum pernah tahu hasilnya bagaimana. Barangkali hal seperti itu lebih praktis jika dilakukan kolektif, juga ada semacam gerakan/awareness untuk meningkatkan kesadaran tsb. Namun, sejauh ini sepertinya tindakan kolektif ke arah sana belum terdengar betul gaungnya. 

Budaya literasi di Indonesia masih sangat minim, ditambah adanya pembajakan yang semakin merusak. Apa harapan-harapan Dee untuk ke depannya?

Buku dikeluhkan mahal, memang  ada benarnya. Banyak kebijakan pemerintah saat ini yang mengakibatkan produksi buku tidak bisa murah, dan akhirnya harga buku tinggi, sementara daya beli masyarakat belum semua mampu ke arah sana. Jadi, baiknya memang ada insentif ekonomi bagi industri penerbitan, supaya buku lebih mudah diakses dan dibeli masyarakat. Selain itu, perlu ada gerakan moral untuk menghargai karya tulis sehingga masyarakat punya kesadaran dan keengganan untuk membeli buku bajakan.