Friday, May 12, 2017

UPH Conservatory of Music - Skripsi | Menulis Lagu | Januari, 2017 | Novia Arifin


Apakah latar belakang Dewi Lestari sehingga dapat berkarya tidak hanya sebagai penulis namun juga sebagai pencipta lagu?

Dorongan ataupun ketertarikan mencipta lagu sudah saya rasakan sejak kecil. Seingat saya, saya pertama kali coba-coba bikin lagu sejak kelas 2 SD, tapi tentunya belum terstruktur dengan baik. Baru kelas 5 SD saya mencoba lebih serius dan berhasil membuat dua lagu pada saat itu. Sehabis itu, terus coba-coba di bangku SMP. Namun, baru saat kuliah saya mulai lebih serius lagi. Lagu pertama saya yang masuk dapur rekaman adalah Satu Bintang di Langit Kelam, saya tulis tahun 1994, dan masuk ke album perdana Rida Sita Dewi tahun 1995. Saya menulis juga sejak kecil, sejak SD. Kelas 5 SD pertama mencoba bikin novel, dan terus coba-coba. Jadi, sejarahnya kurang lebih sama dan berjalan paralel. Intinya, passion saya adalah story-telling. Fiksi atau lagu, hanya perkara mediumnya saja.

Bagaimana pengalaman Dewi Lestari saat membuat karya musik pertama/lagu pertama? Urgensi/inspirasi apa yang dirasakan? Kronologi pembuatannya seperti apa?

Bagi saya, proses bikin lagu itu selalu “balap-balapan” antara melodi dan lirik. Terkadang lirik membuka pemicu untuk melodi baru, terkadang melodi yang memicu lirik. Jadi, datangnya silih berganti. Baru setelah rampung, saya punya kesempatan untuk mengedit lirik agar lebih rapi dan sempurna. Inspirasinya biasanya datang dari merasakan sebuah emosi. Bisa dari pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain. Tapi, saya selalu melihat frame sebuah cerita untuk bisa dijadikan lagu. Jadi, tetap ada unsur story-telling.

Bagaimanakah proses kronologi pembuatan lagu yang sering dilakukan atau sudah menjadi kebiasaan bagi Dewi Lestari?

Mirip dengan jawaban di atas. Biasanya, muncul potongan sedikit melodi, lalu beberapa kata untuk lirik. Kemudian, saya lanjutkan di piano. Proses merampungkannya jarang sekali jadi. Biasanya, bisa makan waktu beberapa hari. Bahkan beberapa minggu. Jadi, saya bolak-balik mengunjungi draf lagu, hingga rampung. Baru, saya edit ulang lirik agar rapi; efisien dalam penggunaan kata, enak dinyanyikan, ceritanya lebih runut.

Apakah inspirasi yang biasanya memicu Dewi Lestari sebelum membuat sebuah lagu?

Emosi, yang kemudian saya kembangkan menjadi cerita.

Bagaimana proses pembuatan lirik yang diterapkan dalam pembuatan lagu bagi Dewi Lestari?

Mirip dengan jawaban-jawaban di atas. Kalau sudah ada bingkai cerita maka biasanya lebih mudah. Sama dengan prinsip bercerita, awal itu biasanya set-up, di bait kedua sudah ada “persoalan” lagu, dan biasanya pesan utamanya muncul di reffrain.

Dalam pembuatan lirik adakah teori yang dipakai khususnya teori dalam ilmu sastra? Misalnya semantic atau rima, apakah rima penting untuk membuat lirik?

Tidak berdasarkan teori tertentu. Lebih banyak feeling. Rima biasanya saya terapkan karena bagi kuping saya lirik yang punya rima lebih enak didengar.

Apakah keberadaan teori sangat berperan dalam pembuatan lagu secara keseluruhan atau tidak sama sekali?

Karena saya otodidak, saya tidak menjalankan teori tertentu. Belakangan baru saya baca-baca buku tentang songwriting, dan ternyata sebagian besar sudah saya terapkan tanpa disadari. Misalnya, tentang prosody, yakni kesesuaian melodi dan lirik. Bagi saya, prosody sangat penting. Dan, itu terasa ketika saya mendengar lagu yang menurut saya baik. Dan juga terasa ketika saya mendengar lagu yang prosody-nya nggak pas, contohnya lagu dengan melodi cerah tapi diberi lirik yang sendu. Jadi, nggak terasa “kawin”.

Manakah yang lebih didahulukan dalam membuat lagu, lirik atau melodi lagu?

Sama seperti jawaban no 2.

Jika lirik dibuat terlebih dahulu, adakah pemberlakuan/treatment yang sering digunakan saat membuat melodi berdasarkan lirik yang ada?

Saya tidak pernah membuat lagu (melodi) dengan lirik yang sudah rampung terlebih dahulu. Selalu overlapping.

Jika melodi dibuat terlebih dahulu, adakah pemberlakuan yang sering digunakan saat membuat lirik?

Sama dengan jawaban no 9.

Lirik yang menyesuaikan melodi atau melodi yang menyesuaikan lirik? Manakah yang biasanya ‘dikorbankan’?

Keduanya saling menyesuaikan.

Apakah lirik dan melodi memiliki posisi yang sederajat atau ada yang lebih penting diantara keduanya?

Bagi saya sama penting. Lirik indah tapi melodi tidak menggugah sama lemahnya dengan melodi indah tapi lirik tidak menggugah.

Hal apakah yang paling penting dalam sebuah lagu sehingga lagu dapat dikatakan matang?

Strukturnya rapi, jelas. Baik dari segi melodi, bagan lagu, hingga cerita/konten lagu.

Apakah makna lirik berhubungan dengan pergerakan melodi dalam lagu?

Itu yang tadi saya sebut dengan prosody. Salah satu lagu dengan prosody terbaik konon adalah I Don’t Have The Heart (James Ingram). Bisa dipelajari bagaimana ketika melodi dan lirik sudah “kawin” atau terintegrasi, maka yang terjadi adalah cerita. Tidak lagi bisa kita pisahkan melodi dan liriknya. Keduanya saling memberi penekanan yang tepat hingga baik melodi dan lirik sama-sama kuat bagi pendengar.

Apa pendapat Dewi Lestari tentang lagu yang memiliki makna lirik yang buruk/negatif? (Contohnya: Yura – Cinta dan Rahasia dll.)

Saya punya definisi berbeda tentang makna lirik yang negatif. Bagi saya, lirik yang sampai taraf negatif itu kalau sudah sampai ke taraf menghasut ke tindakan kriminal seperti membunuh, dsb. Namun, apa yang diungkap dalam contoh lagu yang kamu berikan, saya rasa masih sangat realistis dan banyak dialami oleh orang-orang. Jadi, saya merasa netral-netral saja dengan lagu tsb.

Apakah cerita lagu diutamakan dalam pembuatan lagu?

Bagi saya, iya.

Apakah ada pemberlakuan yang berbeda antara verse, pre chorus maupun chorus dalam hal lirik maupun melodi?

Saya belum terlalu jelas dengan makna “pemberlakuan” dalam konteks pertanyaan di atas. Tapi tentu saja karakteristik verse, pre-chorus, dan chorus berbeda. Verse sifatnya membuka, pre-chorus sebagai jembatan, dan chorus biasanya punya kekuatan ekstra, nadanya lebih klimaks. Secara lirik, bergantung pendekatan penulis lagunya seperti apa. Kalau saya, prinsipnya seperti story-telling. Ada set-up, ada masalah, ada penyelesaian/kesimpulan.

Apakah pencipta lagu terbiasa mengerjakan lagu secara individual atau lebih menyukai bekerja sama dengan musisi lainnya? Jika bekerja sama dengan musisi, bagaimanakah prosesnya? Dan apakah sulit karena tentu saja memiliki perbedaan selera dan pendapat.

Hal tersebut sifatnya individual. Jawaban saya tentu tidak bisa mewakili penulis lagu lain. Kalau saya sejauh ini selalu bekerja sendiri.

Apa latar belakang dari lagu Firasat yang dibuat oleh Dewi Lestari?

Banyak lagu saya yang tidak punya “latar belakang” atau “misi”, lebih ke lahir begitu saja. Firasat, adalah salah satunya. Yang saya ingat, waktu itu saya diminta bikin lagu untuk album Marcell. Dan, karena suara Marcell cenderung lebih R&B, saya kemudian membayangkan melodi yang kira-kira cocok dilantunkan Boyz II Men, dan lalu muncullah potongan melodi di reffrain Firasat, yang tak lama kemudian saya pasangkan dengan kata-kata “Cepat pulang”. Setelah itu mulai terbingkai sebuah cerita yang lebih lengkap.

Adakah interaksi yang terjadi antara lirik dengan melodi dari lagu Firasat? Jika ada, seperti apakah interaksi tersebut?

Sama seperti jawaban sebelum-sebelumnya. Karena saya menciptakan lagu secara overlapping, keterkaitan antara melodi dan lirik otomatis jadi sangat kuat karena saling mendorong terciptanya satu sama lain. Begitu juga dengan Firasat.

Bagaimanakah kronologi pembuatan lagu Firasat?

Sama seperti jawaban no 19. Sekadar tambahan, Firasat adalah lagu yang sepenuhnya saya ciptakan di “kepala”, tanpa bantuan alat musik. Karena saya bikinnya waktu itu di luar kota. Baru ketika saya pulang ke rumah, saya coba mainkan di piano untuk tahu chord-nya.

Lebih penting mana, membuat lagu untuk disukai orang yang mendengar atau membuat lagu agar orang mengetahui pesan lagu tersebut, suka atau tidak suka?

Pada prinsipnya, saya hanya menulis lagu yang ingin saya dengar. Artinya, patokannya adalah saya sendiri. Saya harus suka duluan sama lagunya. Orang lain suka, saya anggap bonus. Tapi, saya tidak pernah bikin lagu yang saya sendiri nggak suka.

Menurut pendapat Dewi Lestari, apa perbedaan musik instrumental dengan musik ber-lirik? Apakah ada yang lebih bermanfaat/bagus/komunikatif?

Saya rasa musik instrumental lebih mengedepankan pada penekanan pada instrumen tertentu atau sebuah aransemen/komposisi multi-instrumen. Sama halnya dengan musik yang berlirik, keduanya tentu punya cerita yang ingin dikomunikasikan. Hanya saja pada musik instrumental, cerita itu tidak disampaikan secara verbal. Jadi, bukan soal lebih bagus atau tidak. Kembali kepada tujuan maupun preferensi kreatornya. Yang jelas, biasanya musik instrumental punya interval melodi yang lebih luas dan kompleks karena tidak perlu memperhitungkan rentang maupun kenyamanan vokal sebagai salah satu instrumen. Sementara musik yang berlirik biasanya memperhitungkan kecocokan dan kenyamanan vokalis untuk membawakan lagu.